Putri Transaksional, Bukan Ajaran Islam

Oleh: Tgk, Akmal Abzal
Komisioner KIP Aceh Periode 2008-2013  dan 2018-2023


Tingginya biaya sebuah kursi kekuasaan dewasa ini mengindikasikan negeri ini sedang dilanda krisis berdemokrasi dan terjebak dalam dinamika politik transaksional. Hal ini terjadi dari pemilihan presiden, anggota dewan DPRRI, DPRA, DPRK hingga pemilihan kepala daerah, yaitu gubernur, bupati, dan walikota. Isu transaksi menjadi hal yang terus mengiang di mata dan dalam ingatan.

Dulu, sering kita dengar kalimat “na peng na inong, hana peng maka hana inong”. Ada uang dapat istri, tanpa uang maka tidak akan pernah bisa beristri. Namun, kata sindiran berbahasa Aceh ini mulai dipelesetkan oleh sejumlah khalayak dengan narasi, “Na peng na kursi, jika  hana peng bek meuharap na kursi”. Artinya, ada uang ada kursi, kalau tidak memiliki uang jangan berharap mendapat kursi.

Politik transaksional tumbuh mekar secara masif dan sistemik, terjadi di banyak sektor dan dilakukan oleh berbagai profesi. Ironinya, transaksional dan pragmatis orientasi ini nyaris tidak dianggap lagi sebagai sebuah kekeliruan yang semestinya dihindari, karena berpotensi pelakunya mendapat dosa dan ini bukan bagian dari warisan Islam sebagai agama suci.  

Banyak harapan agar Aceh dan Nusantara ini dikendali oleh pemimpin yang baik, jujur, adil dan peduli kepada rakyat, bangsa, serta agama.  Namun, harapan itu hanya sebatas impian karena fakta empiris tidak demikian. Para calon pemimpin dan wakil rakyat justru diperas dengan segenap cara, sehingga menguras materil yang tidak sedikit demi sebuah kursi kekuasaan yang bersifat instan.

Lantas harapan dan tuntutan apa yang bisa dititip kepada mereka pasca diperlakuan secara tidak manusiawi? Jawabannya ada dalam nurani kita semua. Akhirnya, politik transaksional ini berdampak pada saling menyandera antara warga sebagai pemilih dan peserta pemilu sebagai pihak yang dipilih.

Saling menyandera ini sangat berasa dari periode ke periode, sebagian anggota dewan atau kepala daerah terpilih dengan lantang berucap “jatah pemilih sudah selesai saat kampanye dan sekarang jatah kami mengembalikan pundi-pundi yang telah kosong”. Kendatipun belum sepenuhnya tindakan mereka sesuai ucapan diatas namun realitas lapangan mengindikasikan bahwa siapapun yang terpilih akan tetap berpikir untuk mengembalikan modal politik yang telah dikeluarkan.

Disisi lain pemilihpun berucap “menyoe kon jinoe, pajan lom?” Jika demikian jadinya, lantas kapan pembangunan nanggroe ini dapat terwujud dan kemakmuran datang menjelma menuju kesejahteraan rakyat? Semua ditransaksikan, saling barter, dan  semua berorientasi pragmatis. Mirisnya negeriku.

Pilkada Aceh 2024 pun tak luput dari opini kritik berbagai pihak atas lambatnya penentuan pasangan oleh partai pengusung calon kepala dan wakil kepala daerah, baik untuk pilkada gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati, maupun walikota/wakil walikota.

Berlarut-larut hingga mendekati masa pendaftaran calon menimbulkan beragam opini dan spekulasi warga. Sember daya manusia di partai menipis, kepercayaan diri partai menghilang, trauma dengan pemilu legeslatif April lalu sangat memeras energi hingga kas partai lagi kosong. Bahkan, ada opini warung kupi yang menuding lambatnya penetapan  pasangan calon disebabkan oleh transaksi lintas koalisi belum final.

Masya Allah, cukup sudah transaksi demi transaksi politik ini terjadi jika memang ada. Berniatlah untuk membangun negeri ini dengan niat ibadah dan pengabdian,  tidak semua hal mesti dikonversikan dengan kompensasi materil karena rakyat sudah lelah dengan penomena politik elit yang dianggap serba transaksional.

Posting Komentar (0)
Lebih baru Lebih lama