Rancangan Qanun hukum keluarga telah diparipurnakan oleh DPRA tanggal 27 September 2019, yang sebelumnya telah melewati berbagai tahapan diskusi, melakukan studi banding ke Yogyakarta yang memiliki Perda Ketahanan Keluarga, berkonsultasi dengan Kemenag RI, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Anak, menggelar rapat dengar pendapat umum, dan berkonsultasi ke Kementerian Dalam Negeri.
Sebelumnya, Raqan ini menjadi pusat perhatian setelah pemberitaan media cetak, online, "Aceh legalkan poligami", (Serambi, 6 Juli 2019), bahkan ada candaan "jika ingin berpoligami maka tinggallah di Aceh", karena ada yang menyebutnya sebagai "Rancangan Qanun Poligami.” Selebihnya tidak sedikit yang galau dan khawatir bahkan ada yang "baper" sehingga bersikap reaktif dan emosional, mempertanyakan mengapa ide ini bisa muncul, padahal yang bersangkutan belum tentu mendalami secara utuh muatan Raqan tersebut.
Namun tidak sedikit juga yang mengapresiasi dan berharap agar Raqan ini segera disahkan karena mengandung muatan positif dalam penegakan syariat Islam di Aceh, menjaga ketahanan keluarga, dan menekan angka perceraian.
Menurut anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Aceh, Tgk. H. Irawan Abdullah, S. Ag mengatakan, pemerintah pusat belum memahami secara baik esensial daripada filosofis pentingnya qanun hukum keluarga yang disahkan oleh DPR Aceh dan pemerintah Aceh, karena selama ini proses pembahasan yang dilakukan pusat masih terikat dengan kementerian-kementerian terkait misalnya kementerian pemberdayaan perempuan, kementerian agama dan lain sebagainya.
Anggota DPRA tersebut juga menambahkan, sejak qanun ini muncul, timbul berita viral mengenai qanun hukum keluarga ini seolah-olah membolehkan pemberlakuan poligami yang berlangsung di Aceh, sebenarnya qanun ini mengatur bagaimana hubungan itu lebih baik menghindari hal-hal yang terjadi seperti Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) dan lain sebagainya.
“Qanun ini belum disahkan terganggu dengan berita viral sesudah qanun ini disahkan sehingga membuat pemerintah pusat lambat atau belum mengesahkan qanun hukum keluarga ini, “ tegasnya.
Irawan juga menambahkan, kalau seandainya qanun hukum keluarga ini disahkan, bahwa memberi ruang untuk pernikahan anak, padahal sebenarnya dalam qanun hukum keluarga ini mengatur bagaimana proses perkawinan itu dilakukan dengan proses yang jauh lebih baik bukan hanya sekedar selesai pada tingkat puas saja, tetapi calon pengantin itu dididik diberikan keilmuan tentang persiapan membina keluarga yang jauh lebih lengkap. Kekhawatiran ini sangat kontraproduktif dengan kondisi qanun yang sudah disahkan.
Qanun ini belum disahkan bukan hanya masalah pro kontra saja tetapi bagaimana proses pembahasan di kementerian antara kementerian dalam negeri dan kementerian terkait belum selesai.
“Sudah beberapa kali konsultasi ke pihak Kemendagri, mereka mengatakan bahwa qanun hukum keluarga masih di kementerian agama dalam hal ini belum diselesaikan pembahasannya sehingga terkesan berlarut-larut dan sudah berlangsung lama sehingga berharap pemerintah pusat segera merealisasikan pengesahan nomor registrasi daripada qanun keluarga yang sudah disahkan oleh pemerintah Aceh dalam paripurna DPRA dan pemerintah AcehAceh,” jelas Irawan.
Bahasan Detail
Menurut Sekretaris Lembaga Pemerhati dan Advokasi Syariat islam (LEPADSI) Dr Rosmawardani Muhammad S.H.MH., mengatakan untuk qanun hukum keluarga itu sudah ke departemen dalam negeri dan sekarang ini ada di biro hukum kementerian agama. Ini saya dengar langsung dari Kadis Syariat dan Mawardi M. SE (Tgk Adek) alasan apa masih tersendat belum ada pembahasannya.
Rosmawardani juga mengatakan secara umum keberatannya di Jakarta karena sudah ada undang-undang perkawinan untuk apalagi qanun. Seharusnya qanun itu segera disahkan karena merupakan amanah undang-undang.
“Qanun ini membahas hal-hal yang rinci yang tidak diatur di dalam undang-undang perkawinan, seperti perkawinan siri, ada persiapan-persiapan sebelum menikah dan lain sebagainya yang tidak ada pembahasan yang rinci dalam undang-undang perkawinan,” terang Rosmawardani.
Rosmawardani menekankan bahwa qanun tersebut sudah melalui proses penelaahan serta rancangan qanun hukum keluarga ini sudah di bahas lama. “Jadi kalau dikatakan terburu-buru, sepertinya ini merupakan kesalahan besar, karena ini sudah melewati proses yang panjang,” ujarnya.
Perempuan dan Anak
Menurut Kepala Bidang Bina Hukum syariat Islam dan HAM, Husni, M. Ag, dalam konsideran menimbang disebutkan bahwa hukum-hukum yang berkaitan dengan kekeluargaan yang ada dan berlaku secara nasional belum mampu mengatur, membina dan menjamin hak-hak dan menyelesaikan berbagai persoalan keluarga secara komprehensif di tengah-tengah masyarakat Aceh.
Untuk itu, Raqan hukum keluarga ini bertujuan untuk memperkuat ketahanan keluarga, melindungi perempuan dan anak, seperti sebagai penguatan terhadap apa yang diatur secara nasional. Hal ini, dimulai dengan perlunya surat keterangan bebas narkoba, sertifikat pelatihan pra nikah, sanksi terhadap pernikahan yang tidak tercatat secara resmi dalam dokumen negara, demikian juga halnya perceraian dilakukan melalui proses peradilan agama atau Mahkamah Syar'iyah.
“Proses penyelesaian problematika keluarga disesuaikan dengan mekanisme adat, ada tingkatan-tingkatan mulai dari keluarga, gampong dan mukim, sebelum diselesaikan melalui ranah hukum negara,” ujarnya.
Husni juga menambahkan, Raqan ini juga mengatur penambahan persyaratan bagi suami yang ingin beristeri lebih dari satu, yaitu harus menunjukkan gaji penghasilan perbulan sebagai bentuk kesanggupan dan kelayakan memberi nafkah. Di samping itu, ada juga pasal yang mengatur untuk mempersempit ruang atau celah pernikahan siri melalui Qadhi liar, sehingga diberi sanksi pidana.
Tidak hanya itu saja, dalam hal ini barangkali ada keresahan para civil society bahwa Raqan ini dapat mempermudah bagi suami untuk berpoligami, padahal persyaratan lebih ketat dari aturan perundang-undangan yang ada dan berlaku selama ini. Kemudian, tujuan utama diatur Raqan ini dalam rangka memperkuat ketahanan keluarga, melindungi perempuan dan anak.
Karena Raqan ini, mengatur hukum keluarga dan dikhawatirkan dapat berbenturan dengan peraturan perundang-undangan, seperti UU NO. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam (KHI) dirasakan perlu dikaji lebih mendalam secara lintas kementerian untuk di bahas.
Kabid bina hukum SI dan HAM menjelaskan, karena kajian yang dilakukan lintas kementerian terlalu lama dan berlarut larut, maka Pemerintah Aceh melalui Biro Hukum perlu menyurati kembali kepada kementerian dalam negeri. Melakukan pertemuan kembali di tingkat pusat, agar Raqan ini segera dibahas sehingga keluar hasil fasilitasi untuk diperbaiki dan disempurnakan bila ada.
Setiap qanun yang telah di buat oleh DPRA dan pemerintah Aceh sudah pasti melalui proses yang panjang dan juga di buat dengan sedemikian rupa untuk kebaikan-kebaikan kedepannya yang tidak di atur dalam undang-undang. ◾️Eriza M. Dahlan