Santri Berpolitik demi Maslahah Ammah

 Prof. Dr. Tgk. H Muntasir A. Kadir, MA – Guru Besar  dalam Bidang Politik Islam di Universitas Malikussaleh Lhokseumawe



Setiap 22 Oktober, kini diperingati sebagai Hari Santri. Peringatan ini ditandai dengan terbitnya Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 22 Tahun 2015. Penetapan Hari Santri ini merujuk kepada seruan Pendiri Nahdlatul Ulama (NU) Hadratussyekh KH Hasyim Asy’ari yang mengeluarkan Resolusi Jihad, pada 22 Oktober 1945. Resolusi Jihad itu mewajibkan para santri dan ulama dayah untuk membela tanah air, serta mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia yang kala itu pasukan sekutu kembali datang untuk menjajah Bumi Pertiwi. Simak wawancara singkat wartawan Tabloid Gema Baiturrahman Indra Kariadi dengan Guru Besar  dalam Bidang Politik Islam di Universitas Malikussaleh Lhokseumawe dan juga Pimpinan Dayah Jamiah Al-Aziziyah Samalanga, Prof. Dr. Tgk. H Muntasir A. Kadir, MA, tentang politik santri.

Apa definisi politik dari perspektif santri?

Dari perspektif santri, politik adalah usaha untuk mewujudkan kemaslahatan umum yang berlandaskan nilai-nilai Islam, adil, amanah, dan tanggung jawab. Politik bagi santri bukan hanya soal perebutan kekuasaan, seperti yang diyakini oleh sebagian orang bahwa itu satu-satunya tujuan politik, tapi bagi santri adalah sarana untuk melayani masyarakat secara lebih luas, tidak terbatas pada prosesi keagamaan saja. Bagi santri, politik itu adalah media untuk melakukan peran-peran kemaslahatan melalui berbagai macam cara termasuk ikut terlibat dalam setiap kontestasi politik dan kemudian bersinergi dengan berbagai pihak untuk mewujudkan kemaslahatan yang ingin dipersembahkan.

Bagaimana sejarah  politik bagi santri di Aceh?

Sejarah politik santri di Aceh telah dimulai sejak Islam itu sendiri datang ke Aceh. Namun, santri dibawah naungan ulama memiliki peran yang sangat penting dalam politik ketika berperang melawan penjajah Belanda pada tahun 1873–1904. Pada masa itu, para sejarawan, seperti Muhammad Said dalam bukunya Aceh Sepanjang Abad, mencatat bahwa ulama berperan sebagai pemimpin spiritual dan politik yang memimpin santri dan masyarakat dalam melawan penjajah, serta mempertahankan nilai-nilai Islam di Aceh. Salah satu contoh penting yang layak disebutkan adalah Teungku Chik di Tiro. Bahkan menurut catatan A. Hasjmy, pada tahun 1874, hampir 500 pemimpin dan ulama berkumpul dan mengadakan musyawarah untuk mempertahankan Aceh dari jajahan Belanda. Pertemuan ini dipimpin langsung oleh  Imuem Lueng Bata dan Teuku Lamnga. Semenjak itu, berbagai macam fatwa mengenai jihad dikeluarkan oleh para ulama, termasuk Teungku Chik Di Tiro.

Peristiwa-peristiwa itu seharusnya bisa dijadikan sebagai acuan betapa santri dibawah asuhan ulama sangat bisa diandalkan dalam pergerakan politik, dan semestinya demikian karena santri memiliki keunikan yang tidak dimiliki oleh politisi lain, yaitu ilmu agama yang mumpuni.

Bagaimana santri mengaktualisasikan peran politik untuk masyarakat?

Santri tidak asing dengan masyarakat. Jauh sebelum menjadi teungku yang disegani, atau bahkan ulama yang dihormati, santri sejak dini sudah diamanatkan untuk terjun langsung dalam masyarakat; mengedukasi dan mengaktualisasi pelajaran-pelajaran agama yang didapatkan di dayah.

Begitu juga dalam hal politik, tidak sukar bagi santri untuk mengaktualisasikan perannya dalam masyarakat. Santri bisa menjadi suri tauladan dalam hal kepemimpinan, baik itu dengan menunjukkan etika, sopan santun, mementingkan kemaslahan umum, dan yang lebih penting santri bisa mengintegrasikan ilmu agamanya dalam pengambilan kebijakan-kebijakan dalam pemerintahan.

Selama ini, sering kita lihat keputusan yang diambil oleh pemangku jabatan tidak memperhatikan nilai-nilai agama. Misalnya zakat, yang seharus diambil tidak diambil, tapi yang seharusnya tidak diambil justru diambil. Ini tidak sesuai dengan fiqih yang selama ini kita pelajari. Padahal pada zakat ini tersembunyi potensi dana yang besar, yang bisa dimanfaatkan untuk kepentingan masyarakat, jika bisa dikelola dengan benar.

Apa tujuan dari seorang santri untuk menjadi politisi?

Sebenarnya ada banyak tujuan santri berpolitik dan menjadi politisi, tetapi disini saya ingin mengemukakan beberapa saja.

Tujuan pertama adalah untuk memastikan maslahah ammah (kemaslahatan umum)  dijalankan dengan benar. Maslahah ammah ini, seperti yang disebutkan oleh Al-Mawardi dalam kitab Ahkamus Sultaniyah, menjadi tujuan penting dari Syariat Islam itu sendiri. Nah, kemaslahatan umum ini tidak bisa diwujudkan dengan hanya menjadi santri tanpa menempuh jalur politik. Di dayah, santri hampir saban hari mempelajari konsep kemaslahatan ini, tapi tidak bisa diterapkan. Misalnya, mendapatkan hak untuk mendapatkan pendidikan bagi semua orang, ini sulit diwujudkan kecuali dengan kekuasaan. Banyak beasiswa yang bisa diberikan oleh seorang anggota dewan, apalagi dengan menjadi pemangku eksekutif, hal yang bisa dilakukan untuk menyetarakan pendidikan lebih banyak.

Selain itu, kesehatan yang merata, keadilan sosial, perlindungan lingkungan, tata kelola pemerintah yang baik, dan merekatkan persatuan juga hampir mustahil diwujudkan kecuali dengan jalur politik. Santri yang terlibat dalam politik dapat memperjuangkan kebijakan-kebijakan ini.

Posting Komentar (0)
Lebih baru Lebih lama