Di era teknologi, profesi yang gampang dilakukan oleh setiap orang adalah menjadi komentator. Info fakta atau fiksi di grup Whatsapp atau medsos, dengan cepat diberi komentar. Apa yang kita komen bisa mendapat pahala atau terimadosa. Teknologi mengiring orang menjadi tukang komen atau juru penilai kesalahandosa orang lain yang bersifatpersonal.
Dalam hal ini, kita ter-ingat kisah antara guru danmurid. Suatu ketika, muridbertanya kepada gurunyayakni manusia yang rajin beribadah namun sombong, ria, dan merasa suci. Sosok kedua, manusia yang jarangibadah, namun suka menolong, santun, lembut dan peduli kemanusiaan.
“Mana yang lebih baik?”tanya murid itu“Keduanya baik. Bolehjadi suatu saat ahli ibadahyang sombong menemukankesadaran tentang akhlaknya yang buruk dan dia bertobat lalu menjadi pribadi yang baik lahir dan batin. Manusia kedua, bisa jadi karenakebaikan hatinya, Allah SWTmenurunkan hidayah dandia menjadi ahli ibadah yangmemiliki kebaikan lahir danbatin,” jelas guru itu panjanglebar.“Kalau begitu, siapa yangtidak baik di antara keduaorang itu?” tanya muridkeheranan ingin tahu.
“Yang tidak baik adalahkita, orang ketiga yang rajinmenilai orang lain, lalaimenilai diri sendiri,” jawabguru singkat.
Jika narasi di atas secarabersamaan adalah pembaca,itu hanya kebetulan saja. Kadang kala kerja kita sepertiwasit sepak bola yang habis-kan waktu dengan lari kesetiap sudut lapangan sambil meniup peluit ketika ada kesalahan pemain bola yang dilihatnya. Wasit juga punyakekuasaan mengangkat kartukuning dan kartu merah kepada pemain yang melanggar peraturan. Melawan wasitbisa dikeluarkan dari lapan-gan. Memang sudah mandatwasit sepak bola memastikan pertandingan berlangsung tanpa ada kecurangan.
Dalam kehidupansehari-hari, perilaku murid itumengingatkan pada sepenggal kalimat semut di seberanglaut kelihatan sementara gajahdi pelupuk mata tidak keliha-tan. Sangat mudah memberivonis kepada orang lain. Dengan memakai kacamatanegatif, yang dikerjakan olehorang lain akan selalu salah. Pernyataan ini karena kitatidak tahu latar belakang seseorang melakukan hal tersebut. Penyebab kedua, kita iri pada sosok yang kita labelkan buruk itu.
Endatu sudah mengingatkan, ketika satu jari telunjuk menunjukkan kesalahan orang lain, pada waktu bersamaan, tiga jari menghujam berbalik arahke jantung yang memperlihatkan kesalahan orang lain.Sudah waktunya muhasabah dilakukan setiap detik bukanpada akhir tahun Islam ataumasehi. Mengurangi menga-mati kekurangan orang lain menjadi melihat aib diri sendiri. Cermin terbaik itu yahati sendiri.
Tugas umat Islam bukanlah menjadi hakim atashidup orang lain. Tugas kitamemperbaiki diri, menambalkekurangan. Setiap manusiapasti punya aib. Dalam halini saya teringat narit seorangProf yang sering menulis dimedia kebaikan sahabatnya yang berpulang ke Rahmatullah. Ada yang tanya mengapatidak menulis sisi buruknya?Sang Prof menjawab masihbanyak sisi positif yang belum semua ditulis. Kalautidak ada lagi sisi positif, biarkan orang lain yang menulis sisi buruknya. Demikian peuneutoh Prof tersebut yang menyengat saya.
Fokus pada perbaikan diri. Kurangi waktu mempermasalahkan kesalahan atau kekurangan orang lain. Pada akhirnya, Allah tanyakan bukan aib atau kesalahan orang lain, tapi ikhtiar kita menjaga hati, lisan, dan amal kita masing-masing.
Ulama Mesir kelahiran 1911, Syekh Muhammad Mutawalli asy-Sya’rawi menegaskan, “Jangan gunakanmulutmu kecuali hanya untukdua hal: diam dan senyum.Diam untuk menghindari masalah dan senyum untuk menyelesaikan masalah.”
Sebagaimana wasit dalamsepak bola, kita memilikiperan untuk memastikankebenaran, tetapi kita harussadar bahwa kita bukanlahhakim dalam kehidupanorang lain. Alih-alih meng-kritik kekurangan orang lain,kita harus lebih fokus padaperbaikan diri, melihat aibsendiri, dan terus berusahamenjaga hati, lisan, dan amalkita. Sebagai umat Islam, tu-gas kita bukan menghakimi,tetapi memperbaiki diri.Pada akhirnya, seba-gaimana ditegaskan oleh Syekh Muhammad Mutawalli asy-Sya’rawi, kita sebaiknya menggunakanmulut kita hanya untuk duahal: diam dan senyum, untuk menghindari masalah danmenyelesaikan masalah. Ini adalah cara terbaik untukmenghadapi kehidupan dan berhubungan dengan sesama. Murizal Hamzah