Masjid Pusat Perubahan Sosial

Oleh: Darlis Aziz

Ketua Umum Perhimpunan Remaja Masjid
Dewan Masjid Indonesia (Prima DMI)


Masjid miniatur masyarakat Islam. Memahami masjid tidak cukup hanya sebagai tempat ibadah seperti shalat, zikir, tadarus, atau majelis ilmu. Lebih dari itu, masjid memiliki peran strategis sebagai motor penggerak perubahan sosial. Pada masa Rasulullah SAW, masjid berfungsi sebagai tempat ibadah dan pusat kegiatan ekonomi, sosial, hubungan internasional, bahkan tempat merancang strategi perang melawan kaum Quraisy dan Yahudi.

Menurut Ketua Dewan Masjid Indonesia, M. Jusuf Kalla, Indonesia memiliki jumlah masjid dan mushola terbanyak di dunia, mencapai 800.000 unit. Berdasarkan data World Population Review tahun 2020, populasi umat Islam di Indonesia mencapai 229 juta jiwa atau 87,2% dari total penduduk 273,5 juta jiwa. Artinya, rata-rata terdapat satu masjid untuk setiap 220 orang Muslim di Indonesia.

Berdasarkan data dari Kemenag Aceh dan PW Dewan Masjid Indonesia (DMI) Aceh, terdapat sekitar 4.450 masjid. Jumlah ini belum termasuk musala dan meunasah yang tersebar di seluruh pelosok Aceh. Dengan jumlah masjid yang melimpah, Aceh memiliki potensi besar untuk menjadikan masjid sebagai institusi perubahan sosial, ekonomi, dan pembangunan, mulai dari tingkat desa hingga provinsi.

Aceh juga memiliki hierarki masjid yang jelas, mulai dari Masjid Raya Provinsi, seperti Masjid Raya Baiturrahman, hingga masjid jami di tingkat kabupaten/kota dan kemukiman/desa. Potensi ini semestinya menjadi kebanggaan dan harapan agar masjid-masjid di Aceh mampu menjadi pusat perubahan sosial yang berkontribusi pada pembangunan masyarakat.

Tantangan Pengelolaan Masjid

Masjid pada beberapa kasus sering kali dijadikan alat kepentingan pribadi. Masjid hanya dilihat sebagai "gerobak" yang digunakan saat dibutuhkan, lalu ditinggalkan setelah keinginan terpenuhi. Ada yang menjadikan masjid sebagai "kuda tunggangan" demi meraih status sosial dan duniawi.

Dalam Islam, terdapat konsep amar ma’ruf nahi munkar, yang mengajarkan umat Muslim bergerak memperbaiki kemungkaran sesuai kapasitasnya—baik dengan kekuasaan, lisan, maupun hati. Masjid sebagai institusi memiliki peran besar untuk menjalankan konsep ini, sekaligus menjadi pusat aktivitas yang membawa kebermanfaatan bagi umat.

Pemisahan Peran Masjid

Pada masa kolonial Belanda, Snouck Hurgronje merumuskan strategi memisahkan umat Islam dari esensi ajarannya. Snouck membagi Islam menjadi tiga kategori, pertama, ibadah murni, diberikan kebebasan penuh selama tidak mengganggu kekuasaan Belanda.
Kedua, sosial kemasyarakatan. Dimanfaatkan untuk mendekatkan rakyat kepada penjajah melalui penggalakan adat dan budaya. Ketiga, Politik, ditindak tegas karena dianggap berpotensi menimbulkan fanatisme dan pemberontakan.

Strategi ini bertujuan menjadikan Islam hanya sebagai "agama masjid," membatasi perannya hanya pada ibadah mahdhah dan memisahkannya dari urusan sosial, ekonomi, dan politik.

Role Model Perubahan

Sejarah juga menunjukkan, bagaimana masjid dapat menjadi pusat perubahan sosial. Salah satu contoh inspiratif Masjid Jogokariyan di Yogyakarta, yang berhasil mengelola masjid sesuai dengan fungsi ideal sebagaimana dicontohkan Rasulullah SAW di Madinah.

Masjid Jogokariyan tidak hanya menjadi tempat ibadah, tetapi juga pusat pemberdayaan ekonomi dan sosial bagi masyarakat sekitar. Model ini membuktikan bahwa masjid mampu memainkan peran strategis dalam mendorong perubahan sosial ke arah yang lebih baik.

Harapan Aceh

Sebagai daerah yang pernah menjadi pusat peradaban Islam di Nusantara, Aceh memiliki potensi besar untuk mengembalikan fungsi masjid sebagai pusat perubahan sosial. Masjid di Aceh menjadi teladan dalam memberdayakan masyarakat melalui pendekatan syariat Islam yang holistik, meliputi aspek spiritual, sosial, dan ekonomi.

Semoga masjid-masjid di Aceh mampu kembali menjadi pilar utama dalam membangun masyarakat yang adil, sejahtera, dan berkeadaban, sebagaimana telah dicontohkan oleh Rasulullah SAW.

Posting Komentar (0)
Lebih baru Lebih lama